BERKAWAN DENGAN KEGIGIHAN
Pengalaman di masa lalu yang getir sering kali menjadikan cambuk bagi
seseorang untuk berjuang melewati rintangan dalam hidup. Kegetiran itu begitu
kental terasa pada kehidupan masa kecil seorang I Wayan Setiawan, BA.,S.Sos.
Bertumbuh tanpa kasih sayang kedua orangtua membuatnya menjadi sosok yang tegar
dan mandiri menjalani hari-harinya yang serba kekurangan secara finansial. Tak
pernah sekalipun ia menyerah, bahkan dalam keadaan sakit pun ia berjuang
mencari nafkah. Namun semua usaha itu terbayar dengan kesuksesan yang
diraihnya. Sukses yang didapat makin mantap ketika ia dapat membantu ribuan
orang untuk menjemput kesuksesan di kapal pesiar. Inilah cerita kehidupan dari
seorang Direktur Sekolah Kapal Pesiar Balindo Paradiso yang senantiasa berkawan
dengan kegigihan.
Ada kisah nan getir di balik cerita kelahiran I Wayan Kawan
Setiawan. Sehari sebelum ia dilahirkan,
Sang Ayah yang bernama Geli, jatuh sakit. Dalam keadaan hamil tua dan
hujan lebat, Sang Ibu, Ni Wayan Sombrog, turut serta mengantar Geli yang
ditandu oleh warga. Mereka berjuang untuk mencari mantri terdekat. Namun takdir
berkata lain, Geli menghembuskan nafas terakhir meninggalkan istri serta buah
hati yang bahkan belum lahir ke dunia. Keesokan harinya, tepatnya pada tanggal
23 Juni 1950 di Desa Lumbung, Tabanan, lahirlah I Wayan Kawan Setiawan. Rasa
suka cita mendapatkan seorang putra bercampur duka kehilangan suami dirasakan
Ni Wayan Sombrog. Sepeninggalan suaminya, pihak keluarga memutuskan untuk
mengembalikan Ni Wayan Sombrog ke keluarga asalnya mengingat pada saat itu belum ada akta pernikahan dan
belum diupacarai secara resmi. Niatan itu pun disambut dengan baik oleh ayah Ni
Wayan Sombrog. Kakek Kawan Setiawan pun mengangkatnya sebagai anak walaupun ia
telah memiliki banyak anak lelaki.
Memasuki usia sekolah Kawan Setiawan bersekolah di SD 1
Lumbung, di masa sekolah inilah Kawan Setiawan harus merelakan Sang Ibu untuk
menikah lagi dan meninggalkannya. Perasaan sedih sempat menggelayuti benak
Kawan Setiawan ketika melihat teman-teman yang lain dibesarkan dengan kasih
sayang seorang ibu. Meski pada akhirnya perasaan rindu pada ibunda tercinta
kian memudar seiring berjalannya waktu. Kasih sayang dari kakek dan nenek
seakan mengganti keberadaan kedua orangtua.
Di masa itu belum ada kendaraan pribadi sehingga Kawan Setiawan
berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki sejauh 90 km dari rumah menuju SD 1
Lumbung. Jangankan sepatu sekolah, sandal pun ia tidak miliki, sehingga ia
harus berjalan kaki ke sekolah tanpa alas kaki. Sebelum berangkat ke sekolah
Kawan Setiawan terbiasa untuk memanjat pohon untuk memetik buah seperti
manggis, wani, durian dan duku yang kemudian ia konsumsi sendiri sebagai
pengganti sarapan. Seragam sekolah yang hanya satu setel saja ia punyai
dicucinya seminggu sekali di sungai. Seragam yang sudah pudar warnanya itu
hanya digosok dengan batu kali dan dijemur di atas batu. Setelah kering, baju
itu langsung saja dikenakannya. Kehidupan yang demikian keras dijalani oleh
Kawan Setiawan sehari-hari, namun beruntung dalam keadaan serba kekurangan
Kawan Setiawan tetap sehat bugar menjalani hari-harinya.
Berhasil menamatkan pendidikannya di SD 1 Lumbung, Sang
kakek memutuskan untuk menyekolahkan Kawan Setiawan di SMP Saraswati 1
Denpasar. Meskipun kakek dan neneknya tidak pernah merasakan bangku sekolah,
namun kakeknya itu berusaha agar Kawan Setiawan mendapat pendidikan yang
memadai. Sesampainya di Denpasar Kawan Setiawan menyewa sebuah kamar kos dan
tinggal bersama ketujuh temannya. Jauh dari keluarga membuat Kawan Setiawan
menjadi anak yang mandiri. Tidak berbeda ketika ia masih duduk di bangku
sekolah dasar, Kawan Setiawan selalu berjalan kaki dari kos menuju SMP
Saraswati. Untuk makan siang Kawan
Setiawan memilih untuk memasak sendiri. Setiap harinya ia memasak kacang goreng
sebagai lauk. Terkadang bila ia memiliki sisa uang yang berlebih, ia bisa
memasak ikan pindang sebagai lauk.
Setelah menuntaskan pendidikan sekolah menengah pertama,
Kawan Setiawan kembali ke daerah asalnya untuk melanjutkan pendidikannya di SMA
1 Tabanan. Lulus dari SMA 1 Tabanan dengan baik, Kawan Setiawan memutuskan
untuk mewujudkan impiannya menjadi seorang AKABRI. Kawan Setiawan kemudian
mengikuti pelatihan selama 3 bulan di Malang pada tahun 1970. Setiap latihan
dijalani oleh Kawan Setiawan meskipun latihan tersebut keras dan melelahkan.
Pelatihan pun berakhir begitu pula dengan mimpi Kawan Setiawan yang harus pupus
di tengah jalan. Kawan Setiawan kembali ke Bali dengan perasaan kecewa dan
memutuskan untuk kembali melanjutkan pendidikannya ke universitas, namun pendaftaran
di universitas telah ditutup. Di tengah keputusasaannya dalam mencari kampus,
ia mendapat informasi bahwa ada satu kampus yang masih membuka pendaftaran
yaitu akademi pariwisata dan perhotelan yang kini dikenal sebagai sekolah
Kertha Wisata. Sekolah tersebut belum memiliki sarana dan prasarana belajar mengajar yang lengkap, bahkan gedung
pun masih meminjam. Namun di tengah keterbatasan tersebut, Kawan Setiawan tidak
begitu saja menjadi malas belajar.
Ketika Hotel Bali Beach mencari
pekerja training, Kawan Setiawan memberanikan diri untuk mendaftar. Meski ia
merasa pengetahuannya tentang servis hotel tidak memadai disertai
kemampuan bahasa asing yang sangat kurang, Kawan Setiawan
menjalani training selama 3 bulan di Hotel Bali Beach. Selama menjalani masa
training, ia melihat begitu banyak tamu asing yang berdatangan, Kawan Setiawan
pun semakin mantap untuk memperdalam kemampuan Bahasa Inggrisnya. Saat tamu
Jepang datang Kawan Setiawan belajar
Bahasa Jepang. Begitu pun ketika Bali Beach membuka kesempatan untuk belajar
Bahasa Perancis, Kawan Setia tidak ingin begitu saja melewatkannya.
Kampus Kapal Pesiar Balindo Paradiso
|
Begitu kuliahnya tuntas di Akademi Parawisata dan
perhotelan, Kawan Setiawan langsung diterima bekerja di Hotel Bali Beach dengan
gaji Rp 17.000. Nominal tersebut sudah terbilang besar pada tahun itu, seorang
pegawai negeri sipil bahkan hanya berpenghasilan Rp 8.000. Setelah sepuluh
tahun bekerja di Bali Beach, penghasilannya sudah naik menjadi Rp 27.000 per
bulan. Karena melihat teman-temannya yang berlomba-lomba membeli tanah kapling,
ia pun tertarik untuk membeli tanah. Ia membeli tanah seluas 2 are yang pada
saat itu hanya seharga Rp 300.000 dengan cara mencicil. Akibat mencicil tanah,
belum lagi kewajiban untuk membayar kontrakan, gajinya selalu habis. Bahkan
untuk makan pun tak tersisa. Beruntung Kawan Setiawan bekerja di bagian
restoran sehingga ia mendapatkan penghasilan tambahan dari tip yang diberikan
oleh customer.
Sampailah
pada Bulan Desember tahun 1983, Kawan Setiawan memantapkan diri untuk bekerja
di kapal pesiar. Untuk mewujudkan keinginannya itu ia harus mengikuti pelatihan
di Jakarta. Kawan berencana untuk mengambil cuti dari tempatnya selama ia
mengikuti pelatihan. Namun pihak Hotel Bali Beach melarangnya untuk cuti karena
pada saat itu sedang high season dan tamu yang menginap mengalami peningkatan.
Dengan terpaksa, Kawan Setiawan memilih resign saja demi mewujudkan impiannya
bekerja di atas kapal. Setelah menyelesaikan pelatihan selama tiga bulan, lima
hari kemudian ia langsung menerima tawaran kerja di kapal pesiar. Melalui
pekerjaan itu, Kawan mendapat kesempatan melihat dunia luas. Ia dapat
mengunjungi San Fransisco, New York, dan kota-kota lain di Amerika. Kawan juga
mendapat kesempatan mengunjungi Jepang dan menyaksikan sendiri budaya disiplin
warga negeri sakura itu.
Masa bekerja di pesiar pun berakhir. Kawan kembali ke tanah
air tepatnya pada tahun 1985. Keinginannya untuk berangkat kembali menapaki
kehidupan di tengah lautan harus pupus begitu saja lantaran ia mengidap
penyakit. Terdapat flek di paru-parunya yang membuat Kawan harus beristirahat
panjang. Penghasilannya dari kapal pesiar sebagaian besar habis untuk biaya
berobat. Dalam keadaan sakit, tanpa uang dan tidak berpenghasilan, Kawan nekat
mencari pekerjaan. Ia pun mendapat pekerjaan dan bekerja di sebuah restoran
kecil di Sanur. Setelah itu ia sempat berpindah tempat kerja antara lain di Hotel
Putri Bali, Hotel Hilton, Hotel Dinasty dan Holliday Inn.
Karena ingin membagikan wawasan
dan pengalamannya selama bekerja di kapal pesiar, Kawan Setiawan memutuskan
untuk menjadi seorang pengajar di sekolah kapal pesiar. Kemampuannya mengajar
membuatnya dipercaya untuk mengirim 1.200 tenaga kerja ke sebuah kapal pesiar
yang baru launching. Dalam waktu dua bulan ia melakukan interview calon pekerja
serta membuatkan mereka paspor. Akibatnya Kawan harus bergadang dan tak jarang
ia lupa untuk makan. Begitu kuota itu terpenuhi, ia berhasil memberangkatkan
anak didiknya. Rasa bangga dan haru menyelimuti dirinya ketika para yang calon pekerja akan berangkat mengelu-elukan
namanya.
Proses Pembelajaran di Sekolah
Kapal Pesiar Balindo Paradiso dibimbing langsung oleh instruktur dan tenaga
pengajar yang telah berpengalaman bertahun-tahun di bidang Cruise Ship
|
Sejak itu ia sering mengirimkan
tenaga kerja ke kapal pesiar setelah sebelumnya ia didik di sekolah kapal
pesiar. Namun tantangan harus ia hadapi, banyak komplain diterimanya mengenai
kinerja tenaga kerja yang ia kirim. Komplain tersebut lebih sering diajukan
akibat kemampuan bahasa asing yang kurang dari para pekerja. Kebanyakan
penumpang yang mengajukan komplain merupakan orang Amerika yang memiliki
tatanan bahasa yang berbeda dengan Bahasa Inggris pada umumnya. Hal itu yang
sering membuat kesalahpahaman komunikasi antara pekerja kapal pesiar dari Bali
dengan penumpang berkebangsaan Amerika itu. Kawan Setiawan menerima semua
komplain tersebut dengan lapang dada dan menjadikannya sebagai masukan. Ia pun
mengajarkan kepada para peserta didiknya di sekolah kapal pesiar bagaimana tips
dan trik menghadapi tamu asing dan lebih mengasah
kemampuan bahasa mereka.
Saat ini Kawan Setiawan menjadi direktur di Bali Paradise
Citra Dewata (BPC) dan Sekolah Kapal Pesiar Balindo Paradiso. Kini tenaga kerja
yang ia kirim selalu membangun kepuasan para penumpang sehingga ia mendapat
pujian dari perusahaan-perusahaan kapal pesiar. Selain menjadi direktur sekolah
kapal pesiar, ia juga menjalankan usaha di berbagai bidang anatara lain hotel, villa,
SPBU, Koperasi, dan kos-kosan. Kesuksesan yang ia raih merupakan hasil dari
profesionalisme yang selalu ia junjung. Kawan pun menyadari apa yang ia raih
saat ini merupakan anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu
Kawan senantiasa mensyukuri kehidupannya saat ini tanpa melupakan perjuangannya
di masa lalu. (che)
0 Comments